KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Pekreditan Rakyat (BPR) atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) bakal leluasa dalam melakukan peningkatan permodalan ke depan setelah Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) diundangkan. RUU P2SK akan mendorong pengembangan industri BPR/BPRS. Salah satunya dengan memperbolehkan BPR/BPS melakukan initial public offering (IPO) atau melantai di pasar modal. Permodalan masih jadi salah satu masalah utama di BRP/BPRS saat ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan aturan yang mewajibkan BPR/BPRS memiliki modal inti minimum Rp 6 miliar di akhir 2024.
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia, total jumlah BPR saja per Agustus 2022 mencapai 1.450 bank dengan total aset Rp 175,03 triliun. Namun, data itu tidak merinci berapa bank dengan modal inti di bawah Rp 6 miliar. BPR Hasamitra menyambut baik dukungan terhadap industri BPR/BPRS tersebut. Ke depan, bank ini akan memanfaatkan peluang IPO untuk menambah modal meskipun rasio permodalannya saat ini masih cukup solid dan di atas ketentuan minimum regulator, yakni 21%. "RUU P2SK ini pastinya bagus buat BPR. IPO tentunya bisa memperkuat dalam pengembangan BPR karena saat ini modal masih menjadi kelemahan BPR, selain Sumber Daya Manusia (SDM) dan sistem teknologi," kata Direktur Utama BPR Hasamitra I Nyoman Supartha pada KONTAN, Jumat (9/12).
Pria yang akrab disapa Mansu itu mengatakan, semakin kuat modal BPR maka peluang untuk ekspansi semakin terbuka, apalagi nantinya BPR sudah bisa buka cabang di luar provinsi. Per November 2022, modal BPR Hasamitra tercatat sebesar Rp 380 miliar. Tahun depan, bank ini menargetkan asetnya bisa mencapai Rp 3 triliun dengan membidik kredit tumbuh Rp 300 miliar. Per September 2022, asetnya sudah Rp 2,63 triliun. Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menilai wajar jika BPR/BPRS melakukan IPO dalam meningkatkan permodalan agar bisa bersaing. Apalagi BPR/BPRS sebagian besar sudah berbadan hukum perseroan terbatas (PT).
Sebagaimana bank umum, BPR/BPRS juga menghadapi persaingan ketat dengan kehadiran fintech. "Untuk mengembangkan layanan digital bpr harus berkolaborasi dengan bank umum dan juga harus memiliki modal yang cukup. Dengan tambahan modal, daya saing BPR/BPRS bisa meningkat," kata Piter. Namun, ia juga mengingatkan agar proses IPO BPR/BPRS dilakukan secara lebih ketat mengingat adanya dana publik yang dikelola. Sebelumnya, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Joko Suyanto menyatakan, IPO menjadi dambaan bagi industri BPR, salah satunya sebagai upaya dalam meningkatkan permodalan. Ada sejumlah keuntungan jika BPR go public, antara lain mendapatkan insentif pajak, meningkatkan nilai perusahaan, meningkatkan market awareness, menumbuhkan loyalitas karyawan, akses pada pendanan baru, dan meningkatkan good corporate governance (GCG). Namun, ada juga tantangan yang harus diperhatikan BPR ketika akan go public, yaitu delusi dan kontrol atas kepemilikan, transparansi dan pelaporan harus dilakukan secara profesional, biaya-biaya yang terkait dengan pasar modal, market pressure, serta regulasi dan pemenuhannya.
RELATED NEWS
|